Sejarah DNIKS
Sejarah Lahirnya DNIKS
Menyadari bahwa perwujudan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 belum sepenuhnya tercapai sebagaimana yang diharapkan, maka untuk mewujudkan tujuan tersebut merupakan hak, kewajiban, dan tanggung jawab bangsa Indonesia untuk menyempurnakan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, dihimpunlah segala potensi kemanusiaan dan sumber daya dalam suatu wadah nasional yang berbentuk Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) yang diawali dengan pembentukan Komite Nasional Kesejahteraan Sosial melalui Piagam Pendirian tertanggal 17 Juli 1967.
DNIKS terbentuk atas pemikiran kolektif para delegasi Indonesia seusai memenuhi undangan The Thirteenth International Conference of ICSW (International Council on Social Welfare) di Washington DC Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh PBB pada 1 September 1966. ICSW ini merupakan sebuah organisasi kesejahteraan sosial tingkat global yang didirikan di Paris tahun 1928. Kemudian, para mantan delegasi Indonesia yang terdiri dari Mr. Soemantri Praptokoesomo, A.M. Pasila, S.Th. Djajat Drajat, Mr. Alwi Sutan Oesman, Dr. Salekan. Mr. Ijas Suhanda, Narasaruddin Latif, pada tanggal 8 Juli 1967 meresmikan pembentukan Komite Nasional untuk Kesejahteraan Sosial (KNKS), dengan penandatanganan piagam pendiriannya oleh ketujuh orang tersebut pada tanggal 17 Juli 1967, yang kemudian menjadi tanggal kelahiran DNIKS.
Sejak berdiri hingga tahun 2025 ini, DNIKS telah mengalami beberapa kali periode kepengurusan : Deklalator (1967 – 1970), Johana Sunarti A.H. Nasution (1970 – 1985), Raden Panji H. Mohammad Noer (1985 – 1990), Brigadir Jenderal TNI (Purn.) H. Gatot Soeherman (1990-1995), Letnan Jenderal TNI (Purn.) Bustanil Arifin, SH ( 1995 – 2005), Prof. Dr. Haryono Suyono (2005-2017), Tantyo Adji P. Sudharmono (2017 – 2023), Dr. Hendratmoko, M.Si (Plt Ketua Umum 2023 - 2024), dan Dr. H. A. Effendy Choirie, M.Ag., M.H. (2024 - 2029).
DNIKS mengkoordinasikan kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial yang diprioritaskan kepada masyarakat dengan kriteria kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, penyimpangan perilaku, korban bencana, korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Di tingkat provinsi dibentuk Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS) sebagai Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) Provinsi dan Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (K3S) sebagai LKKS tingkat kabupaten/kota. Terdapat 38 BKKKS (sesuai jumlah provinsi di Indonesia) sebagai anggota atau jaringan kerja tingkat provinsi. Baik LKKS tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, masing-masing bersifat otonom. DNIKS dan LKKS provinsi dan kabupaten/kota adalah lembaga berbadan hukum berbentuk perkumpulan, ada juga yang berbentuk yayasan. Selain itu, DNIKS menghimpun 35 Organisasi Sosial Nasional (Orsosnas) dan yayasan sebagai anggota hingga saat ini.
Latar Belakang Pendirian DNIKS
Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) lahir di tengah kondisi sosial-ekonomi Indonesia yang kompleks pada tahun 1967. Pasca pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, Indonesia menghadapi berbagai tantangan berat dalam perekonomian dan kesejahteraan sosial. Inflasi tinggi, kemiskinan meluas, dan ketimpangan sosial menjadi pemandangan umum di masyarakat. Situasi ini mendorong sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang untuk menggagas pembentukan sebuah lembaga yang fokus pada pemajuan kesejahteraan sosial.
Pendirian DNIKS dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 belum sepenuhnya terwujud. Pembentukan lembaga ini muncul dari pemikiran bahwa pencapaian tujuan tersebut merupakan hak, kewajiban, dan tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia dalam menyempurnakan usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Ide awal pembentukan DNIKS muncul dari diskusi intensif antara para tokoh sosial, agamawan, akademisi, dan praktisi kesejahteraan sosial yang prihatin dengan kondisi masyarakat Indonesia. Mereka melihat perlunya wadah yang dapat menjembatani upaya pemerintah dan masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Wadah ini diharapkan dapat menjadi forum untuk mengembangkan pemikiran, kebijakan, dan tindakan praktis dalam bidang kesejahteraan sosial.
Gejolak Sosial, Politik, dan Ekonomi Orde Lama
Kemegahan Gelora Bung Karno (dahulu GANEFO - Games of New Emerging Forces) di bilangan Senayan, Jakarta, ternyata tidak mampu mengubah kehidupan ekonomi rakyat di sekitarnya. Bahkan, kondisi masyarakat Jakarta secara keseluruhan tetap memprihatinkan. Serupa dengan menjulang tingginya Tugu Monas yang bertahtakan emas, kemegahan simbol-simbol kemerdekaan tersebut tidak membawa penduduk Betawi terangkat dalam kemakmuran dan pendidikan. Krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan sejak pemotongan mata uang pada tahun 1959 menjadikan rakyat semakin terpuruk ke dalam jurang kemiskinan yang tidak menentu dan tak berujung pangkal.
Di tingkat pemerintahan, Presiden Sukarno terus memekakkan agenda "Trikora" di setiap kesempatan. Tiga Komando Rakyat tersebut berisi: rebut kembali Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Bumi Irian Barat, dan kobarkan api perjuangan di kalangan pemuda untuk membebaskan Irian Barat dari tangan penjajah Belanda. Untuk mewujudkan misi ini, Mayjen Soeharto dilantik sebagai Panglima Komando Tertinggi Mandala, memimpin Operasi Gabungan Pembebasan Irian Barat. Meskipun peperangan laut berlangsung singkat, gugurnya Komodor Laut Yos Sudarso di Laut Aru menjadi pengorbanan besar bangsa. Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia.
Tidak berhenti di sana, Presiden Sukarno terus meniupkan sangkakala peperangan di tengah badai ekonomi nasional yang menghempas. Kali ini melalui "Dwikora" yang memukau. Dua Komando Rakyat tersebut berisi: ganyang Negara Boneka Malaysia dan usir neokolonialisme Inggris dari Tanah Malaya. Dua sersan Marinir, Usman bin Muhammad Ali dan Harun bin Said alias Tahir, gugur di tiang gantungan di kota Singapura sebagai kusuma bangsa sebelum mereka sempat meledakkan bom di tengah kota dan markas militer milik Inggris. Politik di era tersebut benar-benar menjadi panglima dengan semboyan "satu tangan pegang bedil dan satu tangan lagi pegang pacul".
Wajar bila kemudian inflasi nasional membumbung hingga angka 650 persen akibat pemerintah terus mencetak uang. Utang luar negeri untuk kepentingan pembelian alutsista dari Rusia dan Eropa Timur membobolkan devisa negara hingga kosong melompong, bahkan minus. Anggaran untuk kepentingan militer saat itu memicu defisit sebesar Rp 1,32 triliun atau empat kali lipat dari defisit tahun sebelumnya pada 1963.
Puluhan panti pelayanan kaum penyandang disabilitas tercekik dan merasa tidak sanggup lagi melaksanakan kegiatannya. Panti-panti tersebut terancam tutup dan gulung tikar. Prahara nasional ternyata bukan saja telah meluluh lantakkan kehidupan rakyat jelata, bahkan hingga pada lini kewajiban negara untuk turut melindungi kaum rentan, para penyandang disabilitas, dan lansia yang pernah pula mengangkat senjata menegakkan berkibarnya Sang Saka Merah Putih di awal kemerdekaan. Di setiap sudut dan pelosok negeri terjadi antrean untuk memperoleh beras, lauk, serta minyak tanah sebagai bahan bakar kompor. Gelandangan, pengemis, dan para penderita gangguan jiwa bergentayangan bebas di jalanan kota Jakarta maupun kota lainnya. Pengorbanan rakyat tak kunjung berakhir.
Langkah cepat untuk mengatasi krisis tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan Djuanda melalui Regulasi 26 Mei 1963. Sayangnya, kebijakan tersebut kandas di tengah jalan. Bradley R Simpson menyebutnya sebagai "Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968".
Badan Kerja Sama Panti Asuhan (BKSPA) yang lahir sejak 1957 menjadi organisasi pertama yang mencoba menyampaikan situasi pelayanan sosial kepada pemerintah, baik di Jakarta maupun di kota lainnya. Organisasi ini terdiri dari sejumlah lembaga sosial yang berada di bawah payung Aisyah Muhammadiyah, Muslimat NU, Dewan Gereja Indonesia, Darul Aitam, Hollands Women Council, serta beberapa kelompok lainnya. Sebelumnya, pada masa pendudukan Jepang, mereka juga sudah ada dengan nama "Naikubu Kosaika", meskipun tidak begitu besar dan tidak banyak kegiatannya.
Rombongan BKSPA didampingi oleh Prof. Raden Mas H. Sumantri Praptokusumo (Muhammadiyah) yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Departemen Sosial, beserta koordinator delegasi Johana Sunarti Nasution berupaya menghadap Presiden Sukarno. Mayor Sabur, yang ketika itu menjadi ajudan kepercayaan Presiden, menerima rombongan tersebut. Namun, acara yang sudah dijadwalkan istana tersebut batal. Keesokan harinya, keluarlah pemberitaan di media-media nasional pernyataan keras Penyambung Lidah Rakyat tentang "Go to Hell with Your Aid". Hal ini diduga karena sudah ada yang melaporkan bahwa lebih dari separuh organisasi sosial yang datang menghadap ke istana berada di bawah payung internasional. Mereka yang turut hadir bersama BKSPA saat itu adalah Peter Van Berg, Pimpinan Panti Asuhan Vicentius Putera, Broeder Wynand, Zuster Augusta, Mevrouw de Vreede, Ny. Tjoa (Chúnjié de xīn), Ny. Oetardjo dan Ny. Titi Said (Mother Wings), Ny. Soma (Putera Setia), Vera Oei Hong Luan, Ny. Lauw (Chandra Naya) dan Prof. Dr. Hendarmin (Hollands Women Council) serta beberapa lagi lainnya.
Merasa tidak ditanggapi oleh Presiden Sukarno, Johana Sunarti Nasution yang kala itu juga menjabat sebagai Ketua Persit (Persatuan Istri TNI) didesak oleh mereka yang kecewa atas sikap presiden untuk mengadakan pertemuan. Mereka menggagas kembali langkah-langkah organisasi sosial nasional dalam mewujudkan negeri yang sejahtera, dengan atau tanpa pemerintah. Anggota yang turut serta juga semakin bertambah, di antaranya adalah Ny. Tika Gondokoesoemo, Ny. Siregar, Ny. Shiil Abdurachim, Ny. Soemarno (istri Gubernur Jakarta Dr. Soemarno), dan beberapa lainnya dari kelompok Katolik, Protestan, Islam, maupun organisasi internasional.
Tepat empat minggu sebelum pecahnya G30S PKI, pada 2 September 1965, Johana Sunarti Nasution didaulat sebagai pimpinan Badan Kerja Sama Panti Asuhan (BKSPA). Posisi ini menjadi penting dalam perjalanan sejarah menuju pembentukan DNIKS.
Upaya Pembangunan Sosial Ekonomi Era Orde Baru
Pada bulan Februari 1967, setelah pemerintahan dipegang oleh Presiden Suharto, delegasi ekonomi Indonesia antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Drs. Radius Prawiro, Sumitro Djojohadikusumo serta beberapa lagi lainnya menuju Den Haag, Belanda. Yakni membicarakan persoalan ekonomi nasional yang tengah tepuruk dan membutuhkan bantuan donator luar negeri. Maka, bertemulah delegasi tersebut dengan Perdana Menteri (PM) Berend Jan Udink dan mengadakan perundingan selama lima hari. PM Belanda Jan Udink sepakat untuk menjadi Koordinator IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). Anggota donator tersebut selain sejumlah negara kaya, juga bank-bank internasional. Jan Udink juga mengingatkan bahwa jangan terulang kembali dana yang diberikan guna pembangunan ekonomi, dialokasikan untuk memperkuat militer.
‘‘Tentu saja tidak. Karena era sudah berbeda,’’ tegas Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Bahkan, Sri Sultan juga meyakinkan Jan Udink bahwa pemerintah nantinya akan lebih memperhatikan pula persoalan-persoalan pembangunan sosial masyarakat yang di masa lalu terabaikan. Anggaran guna pembangunan panti-panti sosial ataupun pelayanan sosial lainnya akan ditambah serta diperhatikan. PM Belanda yang juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Belanda, serta juga mantan Minister of Housing and Spatial Planning, merasa lega dengan perkataan itu. Sepulang dari Belanda, ketika berjumpa dengan Jendral AH Nasution di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sri Sultan menceritakan kisahnya tersebut.
Dalam perjalanan selama awal Orde Baru, ternyata BKSPA yang dikomando oleh Johana Suharti Nasution berkembang sangat cepat dan pesat. Sejumlah donator dari Eropa, American Women Association, Werg Group 72 (Hollands), Australia, Kanada, maupun Jepang ikut mendanai kegiatan-kegiatan BKSPA. Lebih-lebih setelah Gubernur Jakarta Mayor Jendral KKO Ali Sadikin menerbitkan SK Gubernur guna mengucurkan dana untuk kegiatan yang dilakukan oleh BKSPA. SK Gubernur Jakarta No A10/1/16/1966 tertanggal 30 April 1966 juga mencantumkan Gubernur sebagai pelindungnya. Menteri Dalam Negeri yang sebelumnya adalah Gubernur Jakarta dr. Soemarno malahan sehari sebelumnya juga meluncurkan SK soal bantuan dan jaminan sosial.
Pada 1 September 1966, di Washington D.C., Amerika Serikat diselenggarakan sebuah konferensi internasional tentang Kesejahteraan Sosial, ‘‘The 13th International Conference of ICSW (International Council on Social Welfare)’’. Tuan rumahnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Semula ICSW adalah sebuah organisasi kesejahteraan sosial tingkat regional Eropa yang didirikan di Paris pada tahun 1928. Namun setelah berakhirnya Perang Dunia II, permasalahan yang mereka tangani semakin kompleks serta membutuhkan kerjasama multilateral di ranah internasional. Maka dihimpunlah sejumlah komite untuk kesejahteraan sosial dari berbagai negara dan Kawasan.
Berangkatlah delegasi Indonesia untuk turut serta dalam perhelatan tersebut. Mereka yang mewakili Indonesia terdiri dari Alwi Sutan Osman, S.H. (Dirjen Imigrasi), Prof. Raden Mas H. Sumantri Praptokusumo, S.H. (Departemen Sosial), Ijas Suhanda (Indonesia Red Cross Departemen Sosial), S.H., dr. Salekan (Departemen Kesehatan), A.M. Pasila, S.Th (Direktur Jenderal Urusan Bencana Alam dan Bantuan Sosial di Departemen Sosial), Prof. H. Sutan Marajo Nasaruddin Latif (Departemen Agama), dan Djadjat Sudradjat (Diplomat).
Ikut sertanya Indonesia di konferensi tersebut sangatlah menjadi perhatian sejumlah negara. Maklum, karena sebelumnya Indonesia pada masa Bung Karno sempat menyatakan diri keluar dari anggota United Nations dan mendirikan apa yang ia sebut sebagai New Emerging Forces. Bahkan, negara-negara blok Barat beranggapan bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari Blok Timur dengan Poros Jakarta-Hanoi-Beijing. Setelah diplomat Djadjat Sudradjat menyampaikan situasi Indonesia saat itu, barulah tepuk tangan menggema untuk delegasi Indonesia di Gedung UN New York tersebut.
Apresiasi untuk Indonesia tidak hanya sampai di situ, SD Ghokale selaku Secretary Generale ICSW kawasan Asia Pasifik langsung mendatangi meja delegasi Indonesia untuk bersalaman. Lama sekali jabatan tangan yang ia berikan dengan hangat. Kemudian, SD Ghokale mengundang delegasi Indonesia untuk dinner bersama dengan sejumlah rekannya di sebuah resto cukup ternama di New York, Le Diplomate, di bilangan Manhattan, New York. Ternyata SD Ghokale tidak sendiri. Ia juga disertai oleh Jan Beekman (Secretary Nationale Raad voor Maatchscppelijk Welzijn, Nederland) dan Marga Klompe (Ministerie voor Cultuur, Rekreasi e Maatchscppelijk Werk) dan beberapa orang lainnya asal Belanda. Maka, meja mereka pun berulang kali disuguhkan menu serta minuman penghangat.
Saat pulang, SD Ghokale berpesan, agar Jakarta sesegera mungkin membentuk Komite Nasional untuk Kesejahteraan Sosial. Jan Klompe juga menyampaikannya di dalam bahasa Belanda; ‘‘ Wij moeten voorzichtig zijn. Als bu Nas vervangenwordt dan wetenwij niet wat er gaat gebeuren’’ (Hati-hati jangan terlalu lama. Kalau Bu Nas tidak ada, tidak tahu apa nanti jadinya). Semua delegasi Indonesia seperti serempak memahami pesan tersebut. ‘‘Wij zullen het goed doen’’ (Akan kami lakukan sebaik mungkin),’’ jawab Alwi Sutan Osman dengan senyuman.
Tiba di Jakarta, setelah beberapa hari istirahat. Secara bersama-sama para delegasi dari Konferensi Internasional ke-13 Dewan Kesejahteraan Sosial tersebut bertemu dengan Johana Sunarti Nasution di Teuku Umar. Mereka melaporkan tentang perkembangan di dalam konferensi di New York dan tuntutan kepada Indonesia. Beberapa bulan setelah itu, dideklarasikanlah Komite Nasional untuk Kesejahteraan Sosial Indonesia yang kini menjadi DNIKS setelah dilebur dengan BKSPA yang diketuai oleh Johana Sunarti Nasution.
Deklarasi DNIKS Tahun 1967
Pada tanggal 15 Juli 1967, tujuh tokoh visioner berkumpul di Jakarta untuk mendeklarasikan pembentukan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS). Deklarasi tersebut ditandatangani dalam sebuah upacara sederhana namun penuh makna di kediaman Johana Sunarti Nasution di Jalan Teuku Umar No. 40, Menteng, Jakarta Pusat.
Tujuh tokoh yang merupakan mantan delegasi Indonesia pada konferenis ICSW yang diselenggarakan 1 September 1966, yaitu Mr. Soemantri Praptokosomo, A.M. Pasila S.Th., Djajat Drajat, Mr. Alwi Sutan Oesman, Dr. Salekan, Mr. Ijas Suhanda, dan Narasaruddin Latif berkumpul pada tanggal 8 Juli 1967 untuk meresmikan pembentukan Komite Nasional untuk Kesejahteraan Sosial (KNKS). Penandatanganan Piagam Pendirian KNKS oleh ketujuh tokoh tersebut dilakukan pada tanggal 17 Juli 1967, yang kemudian ditetapkan sebagai tanggal kelahiran DNIKS.
Deklarasi tersebut menyatakan komitmen para pendiri untuk:
1. Mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan dan nilai-nilai Pancasila
2. Mendorong partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial
3. Mengembangkan pemikiran, konsep, dan pendekatan inovatif dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial
4. Menjadi mitra konstruktif bagi pemerintah dalam perumusan dan implementasi kebijakan kesejahteraan sosial
5. Membangun jaringan kerja sama nasional dan internasional dalam bidang kesejahteraan sosial
Deklarasi ini menjadi tonggak bersejarah yang menandai dimulainya perjalanan panjang DNIKS dalam memperjuangkan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Dokumentasi Momen Bersejarah Pendirian DNIKS
Momen penandatanganan deklarasi DNIKS pada 15 Juli 1967 didokumentasikan dalam beberapa foto bersejarah yang kini menjadi bagian penting dari arsip DNIKS. Foto-foto tersebut menampilkan ketujuh deklarator yang duduk bersama mengelilingi meja bundar di ruang tamu kediaman Johana Sunarti Nasution. Di atas meja tersebut terhampar dokumen deklarasi yang ditandatangani satu per satu oleh para deklarator.
Selain foto penandatanganan, terdapat juga dokumentasi berupa rekaman audio dari pidato singkat yang disampaikan oleh Johana Sunarti Nasution setelah penandatanganan. Dalam pidato tersebut, ia menyampaikan harapan bahwa DNIKS akan menjadi "mercusuar kesejahteraan sosial" di Indonesia yang akan menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Peristiwa pendirian DNIKS juga diliput oleh beberapa media massa nasional, meskipun tidak mendapat porsi yang besar mengingat situasi politik saat itu. Dokumentasi berupa kliping koran dan majalah dari masa tersebut juga tersimpan dalam arsip DNIKS sebagai bukti sejarah yang berharga.
Namun, karena keterbatasan waktu penyusunan buku ini, penyusun belum sampai menemukan berbagai dokumen fisik tersebut untuk dilampirkan dalam buku ini.
